Jumat, 21 Juni 2024 | Safecare Admin
Suhu normal tubuh manusia umumnya berkisar antara 36,5 hingga 37,5 derajat Celsius. Namun, ada sebagian orang yang selalu merasa hangat atau memiliki suhu tubuh yang lebih tinggi dari kisaran normal tersebut.
Fenomena ini sering kali menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh mereka. Berikut adalah beberapa penjelasan yang dapat menjelaskan kondisi ini.
Menurut Profesor Ilmu Biomedis dan Diagnostik dari Universitas Tennesse Edmund K. LeGrand, ketika tubuh terinfeksi organisme patogen, baik itu seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit sistem kekebalan tubuh akan mengaktifkan respons inflamasi. Ini adalah proses kompleks yang melibatkan pelepasan zat-zat kimia seperti sitokin dan prostaglandin, yang bertujuan untuk menghancurkan patogen, memperbaiki kerusakan jaringan, dan memobilisasi komponen-komponen kekebalan tubuh.
Salah satu hasil dari respons kekebalan ini adalah peningkatan suhu tubuh, yang dikenal sebagai demam atau pireksia. Demam adalah mekanisme penting yang membantu tubuh melawan infeksi. Peningkatan suhu tubuh membantu menghambat pertumbuhan dan replikasi patogen, karena kebanyakan patogen tidak tahan terhadap suhu yang lebih tinggi dari suhu tubuh normal.
Dilansir dari MedicalNewsToday, kelenjar tiroid adalah bagian penting dari sistem endokrin yang mengatur metabolisme tubuh dengan menghasilkan hormon tiroid. Ketika kelenjar tiroid terlalu aktif, kondisi ini disebut hipertiroidisme. Hipertiroidisme menyebabkan peningkatan produksi hormon tiroid, seperti tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3), yang pada gilirannya meningkatkan metabolisme tubuh secara keseluruhan.
Metabolisme yang dipercepat dapat menyebabkan sejumlah gejala tertentu, termasuk peningkatan suhu tubuh. Hal ini terjadi karena proses metabolisme menghasilkan panas sebagai produk sampingan. Selain itu, metabolisme yang dipercepat juga mempengaruhi cara tubuh mengatur suhu internalnya.
Beberapa kondisi radang seperti arthritis bisa menjadi faktor yang dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh yang tidak normal. Kondisi ini merupakan bentuk respons kompleks tubuh terhadap berbagai rangsangan, mulai dari cedera fisik hingga reaksi autoimun terhadap jaringan sendiri.
Ahli rheumatologi dari Florida Vinicius Domingues mengatakan, arthritis adalah kelompok penyakit yang melibatkan peradangan pada sendi-sendi tubuh. Bentuk arthritis seperti rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sendi. Ketika peradangan ini terjadi, sel-sel imun tubuh dilepaskan ke area yang terkena, yang mengarah pada pelepasan zat kimia inflamasi seperti sitokin dan prostaglandin. Zat-zat ini tidak hanya memperburuk peradangan tetapi juga dapat mempengaruhi regulasi suhu tubuh.
Tak dapat dipungkiri, cuaca panas mempengaruhi regulasi suhu tubuh secara signifikan. Jurnalis sains dari Inggris Linda Geddes mengatakan bahwa saat tubuh terpapar suhu lingkungan yang tinggi, mekanisme termoregulasi akan segera aktif. Salah satu respons utama tubuh terhadap panas adalah dengan meningkatkan produksi keringat. Keringat yang keluar dari pori-pori kulit membawa panas dari dalam tubuh ke permukaan kulit, di mana panas tersebut kemudian dihilangkan melalui penguapan.
Pada dasarnya, proses ini mirip dengan cara kerja pendingin alami tubuh manusia. Namun, keefektifan proses ini tergantung pada sejumlah faktor. Ketika suhu lingkungan terlalu tinggi, misalnya di atas ambang batas tertentu di mana udara sudah sangat jenuh dengan kelembaban, penguapan keringat menjadi kurang efektif. Ini disebabkan karena udara yang sudah jenuh dengan kelembaban sulit lagi menyerap lebih banyak uap air dari keringat yang dikeluarkan, sehingga proses pendinginan tubuh tidak dapat berjalan optimal.
Dalam kondisi ini, meskipun tubuh terus memproduksi keringat, panas yang terperangkap di dalam tubuh tidak dapat dengan cepat dibawa ke luar untuk didinginkan. Akibatnya, suhu tubuh tetap tinggi dan dapat menyebabkan beberapa gejala penyakit yang menghambat kondisi tubuh.
Saat cuaca sedang panas, memakai pakaian yang tidak sesuai dapat mengakibatkan peningkatan suhu tubuh. Pakaian tebal atau berbahan sintetis seperti polyester atau nylon tidak memiliki kemampuan yang baik untuk menyerap dan mengeluarkan keringat, sehingga menyebabkan keringat tetap terperangkap di kulit.
Ketika keringat terjebak di kulit, tubuh menjadi sulit untuk mendinginkan diri sendiri karena proses evaporasi yang efektif terganggu. Ini dapat menyebabkan sensasi tidak nyaman dan panas berlebihan, serta meningkatkan risiko kelelahan panas atau bahkan heatstroke dalam kasus yang ekstrem.
Dikutip dari Polar.com, ketika berolahraga, terutama kegiatan yang sangat menguras tenaga seperti lari cepat, angkat beban, atau latihan yang menuntut kinerja kardiovaskular, otot-otot dalam tubuh Anda bekerja lebih keras dari biasanya. Aktivitas ini menghasilkan energi yang diperlukan untuk kontraksi otot, tetapi juga menghasilkan panas sebagai hasil samping.
Proses utama yang terjadi adalah peningkatan metabolisme otot. Ketika otot bekerja, mereka menggunakan energi dari glukosa dan oksigen untuk menghasilkan ATP (adenosin trifosfat), yang merupakan sumber energi utama untuk kontraksi otot. Selama proses ini, sebagian energi yang dihasilkan tidak sepenuhnya efisien dan diubah menjadi panas.
Hilangnya cairan dalam tubuh, atau dikenal sebagai dehidrasi memiliki dampak yang signifikan terhadap regulasi suhu tubuh. Tubuh manusia sangat tergantung pada keseimbangan cairan untuk menjaga suhu tubuh tetap stabil. Ketika tubuh kehilangan lebih banyak cairan daripada yang diambil, hal ini dapat mengganggu proses alami mendinginkan diri, yang sering dilakukan melalui mekanisme penguapan keringat.
Dehidrasi dapat mengurangi volume total cairan dalam tubuh, yang pada akhirnya mengurangi kemampuan tubuh untuk memproduksi keringat dalam jumlah yang memadai. Ketika seseorang mengalami dehidrasi, produksi keringatnya bisa berkurang atau menjadi tidak efektif. Hal ini membuat tubuh kesulitan untuk menurunkan suhu tubuh, terutama dalam kondisi lingkungan yang hangat atau saat berolahraga intens.
Sebagai hasilnya, seseorang mungkin merasa lebih panas dari biasanya, dan kondisi ini dapat berpotensi mengarah pada heatstroke jika tidak ditangani dengan baik.
Mengutip jurnal dari Perpustakaan Medis Amerika Serikat, ketika seseorang mengikuti program diet tertentu, seperti diet tinggi protein atau diet rendah karbohidrat, perubahan metabolisme dan proses pencernaan dapat mempengaruhi regulasi suhu tubuh.
Pertama, diet tinggi protein sering kali meningkatkan produksi panas tubuh selama proses pencernaan dan metabolisme protein. Protein memerlukan lebih banyak energi untuk dicerna daripada karbohidrat atau lemak, yang dapat menghasilkan lebih banyak panas sebagai hasilnya. Selain itu, makanan tinggi protein seperti daging dan telur dapat meningkatkan termogenesis, yaitu proses di mana tubuh menghasilkan panas untuk mengolah makanan.
Kedua, diet rendah karbohidrat atau diet ketogenik dapat mengubah cara tubuh Anda menggunakan energi. Ketika seseorang mengurangi asupan karbohidrat, tubuh mereka cenderung memasuki keadaan ketosis, di mana lemak menjadi sumber utama energi. Proses metabolisme lemak dalam ketosis dapat menghasilkan lebih banyak keton, yang dapat mempengaruhi regulasi dan meningkatkan produksi suhu panas dalam tubuh.
Menopause adalah fase alami dalam kehidupan perempuan yang ditandai dengan berakhirnya menstruasi dan menurunnya produksi hormon-hormon reproduksi, terutama estrogen dan progesteron. Perubahan hormon ini memiliki dampak yang luas pada tubuh, termasuk dalam regulasi suhu tubuh.
DIkutip dari Mayo Clinic, Salah satu gejala yang paling umum dialami oleh wanita selama masa menopause adalah meningkatnya suhu tubuh. Hal ini terjadi ketika tubuh tiba-tiba merasa sangat panas, yang sering kali menyebabkan keringat berlebihan dan perasaan tidak nyaman. Ini dapat terjadi di siang hari atau malam hari, dan frekuensinya serta intensitasnya dapat bervariasi dari satu wanita ke wanita lainnya.
Kondisi ini juga terkait dengan penurunan tajam kadar estrogen dalam tubuh. Estrogen, selain berperan dalam siklus menstruasi dan kesuburan, juga mempengaruhi bagaimana otak mengatur suhu tubuh. Ketika kadar estrogen menurun, terjadi disfungsi pada pusat pengaturan suhu di otak, yang menyebabkan respons tubuh yang tidak tepat terhadap perubahan suhu didalamnya.
Dikutip dari laman Natural Cycles, perubahan hormon selama siklus menstruasi merupakan fenomena alami yang dapat mempengaruhi berbagai aspek kesehatan, termasuk suhu tubuh. Siklus menstruasi pada wanita umumnya terdiri dari fase-fase yang dikendalikan oleh fluktuasi hormon, seperti estrogen dan progesteron.
Salah satu titik penting dalam siklus ini adalah ovulasi, yang terjadi sekitar pertengahan siklus. Ovulasi merupakan proses pelepasan sel telur dari ovarium yang dipicu oleh lonjakan hormon luteinizing hormone (LH). Pada saat ini, kadar hormon estrogen mencapai puncaknya, yang bisa berpengaruh pada regulasi suhu tubuh wanita.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada periode ovulasi, beberapa wanita mengalami peningkatan suhu tubuh basal mereka. Suhu tubuh basal adalah suhu tubuh pada saat istirahat yang diukur segera setelah bangun tidur, biasanya di pagi hari sebelum melakukan aktivitas fisik atau makan. Lonjakan suhu tubuh basal ini dapat terjadi karena pengaruh langsung dari hormon progesteron yang meningkat setelah ovulasi.
Baca Juga Selengkapnya: Begini Cara Atasi Suhu Panas Dalam Tubuh Dengan Baik
Progesteron diproduksi oleh sisa folikel setelah pelepasan sel telur dan kemudian oleh korpus luteum di ovarium. Hormon ini memiliki efek termogenik, yang berarti dapat meningkatkan suhu tubuh dengan mengatur keseimbangan energi dan metabolisme. Progesteron juga berperan dalam mempersiapkan rahim untuk kehamilan, dan peningkatan suhu tubuh basal merupakan tanda potensial bahwa ovulasi telah terjadi dan siklus menstruasi berjalan normal.#yangadaSAFEnya
Sumber Referensi:
Login dahulu untuk membuat komentar
Belum ada komentar